Senin, 19 Januari 2015

Kesenian Sisingaan

Terdapat beberapa keterangan tentang asal usul Sisingaan ini, di antaranya bahwa Sisingaan memiliki hubungan dengan bentuk perlawanan rakyat terhadap penjajah lewat binatang Singa kembar (Singa kembar lambang penjajah Belanda), yang pada waktu itu hanya punya sisa waktu luang dua hari dalam seminggu. Keterangan lain dikaitkan dengan semangat menampilkan jenis kesenian di Anjungan Jawa Barat sekitar tahun 70-an, ketika Bupati Subang dipegang oleh Pak Atju. Pada waktu itu RAF (Rachmatulah Ading Affandi) yang juga tengah berdinas di Subang, karena ia dikenal sebagai seniman dan budayawan dimintakan kitanya. Dalam prosesnya itu, akhirnya ditampilkanlah Gotong Singa atau Sisingaan yang dalam bentuknya masih sederhana, termasuk musik pengiringnya dan kostum penari pengusung Sisingaan. Ternyata sambutannya sangat luar biasa, sejak itu Sisingaan menjadi dikenal masyarakat.
Dalam perkembangan bentuknya Sisingaan, dari bentuk Singa Kembar yang sederhana, semakin lama disempurnakan, baik bahan maupun rupanya, semakin gagah dan menarik. Demikian juga para pengusung Sisingaan, kostumnya semakin dibuat glamour dengan warna-warna kontras dan menyolok.. Demikian pula dengan penataan gerak tarinya dari hari ke hari semakin ditata dan disempurnakan. Juga musik pengiringnya, sudah ditambahkan dengan berbagai perkusi lain, seperti bedug, genjring dll. Begitu juga dengan lagu-lagunya, lagu-lagu dangdut popular sekarang menjadi dominan. Dalam beberapa festival Helaran Sisingaan selalu menjadi unggulan, masyarakat semakin menyukainya, karena itu perkembangannya sangat pesat.
Dewasa ini, di Subang saja diperkirakan ada 200 grup Sisingaan yang tersebar di setiap desa, oleh karena itu Festival Sisingaan Kabupaten Subang yang diselenggarakan setiap tahunnya, merupakan jawaban konkrit dari antusiasme masyarakat Subang. Karena bagi pemenang, diberi peluang mengisi acara di tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Penyebaran Sisingaan sangat cepat, dibeberapa daerah di luar Subang, seperti Sumedang, Kabupaten Bandung, Purwakarta, dll, Sisingaan menjadi salah satu jenis pertunjukan rakyat yang disukai, terutama dalam acara-acara khitanan dan perkawinan. Sebagai seni helaran yang unggul, Sisingaan dikemas sedemikian rupa dengan penambahan pelbagai atraksi, misalnya yang paling menonjol adalah Jajangkungan dengan tampilan manusia-manusia yang tinggi menjangkau langit, sekitar 3-4 meter, serta ditambahkan dengan bunyibunyian petasan yang dipasang dalam bentuk sebuah senapan.
Dalam rangka menumbuhkembangkan seni sisingaan khas kabupaten subang, sanggar seni ninaproduction berupaya untuk melakukan regerasi melaui pembinaan tari anak-anak usia 7 tahun sampai remaja, termasuk tari sisingaan. Nina production beralamat di Jalan Patinggi no 78 Desa buni hayu Jalancagak Subang, sampai saat ini Sanggar Nina Production telah di liput oleh trans 7 dalam acara wara wiri, Daai TV dan pada tangggal 2 Mei 2010 telah diliput oleh ANTV dalam acara anak pemberani.

Pertunjukan

Pertunjukan Sisingaan pada dasarnya dimulai dengan tetabuhan musik yang dinamis. Lalu diikuti oleh permainan Sisingaan oleh penari pengusung sisingaan, lewat gerak antara lain: Pasang/Kuda-kuda, Bangkaret, Masang/Ancang-ancang, Gugulingan, Sepakan dua, Langkah mundur, Kael, Mincid, Ewag, Jeblag, Putar taktak, Gendong Singa, Nanggeuy Singa, Angkat jungjung, Ngolecer,Lambang, Pasagi Tilu, Melak cau, Nincak rancatan, dan Kakapalan. Sebagai seni Helaran, Sisingaan bergerak terus mengelilingi kampung, desa, atau jalanan kota. Sampai akhirnya kembali ke tempat semula. Di dalam perkembangannya, musik pengiring lebih dinamis, dan melahirkan musik Genjring Bonyok dan juga Tardug.

Penyajian

Pola penyajian Sisingaan meliputi:
  1. Tatalu (tetabuhan, arang-arang bubuka) atau keringan
  2. Kidung atau kembang gadung
  3. Sajian Ibingan di antaranya solor, gondang, ewang (kangsreng), catrik, kosong-kosong dan lain-lain
  4. Atraksi atau demo, biasanya disebut atraksi kamonesan dalam pertunjukan Sisingaan yang awalnya terinspirasi oleh atraksi Adem Ayem (genjring akrobat) dan Liong (barongsay)
  5. Penutup dengan musik keringan.

Musik pengiring

Musik pengiring Sisingaan pada awalnya cukup sederhana, antara lain: Kendang Indung (2 buah), Kulanter, Bonang (ketuk), Tarompet, Goong, Kempul, Kecrek. Karena Helaran, memainkannya sambil berdiri, digotong dan diikatkan ke tubuh. Dalam perkembangannya sekarang memakai juru kawih dengan lagu-lagu (baik vokal maupun intrumental), antara lain: Lagu Keringan, Lagu Kidung, Lagu Titipatipa, Lagu Gondang,Lagu Kasreng, Lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dll), Lagu Gurudugan, Lagu Mapay Roko atau Mars-an (sebagai lagu penutup). Lagu lagu dalam Sisingaan tersebut diambil dari lagu-lagu kesenian Ketuk Tilu, Doger dan Kliningan.

Pemaknaan

Ada beberapa makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Sisingaan, diantaranya:
  • Makna sosial, masyarakat Subang percaya bahwa jiwa kesenian rakyat sangat berperan dalam diri mereka, seperti egalitarian, spontanitas, dan rasa memiliki dari setiap jenis seni rakyat yang muncul.
  • Makna teatrikal, dilihat dari penampilannya Sisingaan dewasa ini tak diragukan lagi sangat teatrikal, apalagi setelah ditmabhakn berbagai variasi, seperti jajangkungan dan lain-lain.
  • Makna komersial, karena Sisingaan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, maka antusiasme munculnya sejumlah puluhan bahkan ratusan kelompok Sisingaan dari berbagai desa untuk ikut festival, menunjukan peluang ini, karena si pemenang akan mendapatkan peluang bisnis yang menggiurkan, sama halnya seperti seni bajidoran.
  • Makna universal, dalam setiap etnik dan bangsa seringkali dipunyai pemujaan terhadap binatang Singa (terutama Eropa dan Afrika), meskipun di Jawa Barat tidak terdapat habitat binatang Singa, namun dengan konsep kerkayatan, dapat saja Singa muncul bukan dihabitatnya, dan diterima sebagai miliknya, terbukti pada Sisingaan.
  • Makna Spiritual, dipercaya oleh masyarakat lingkungannya untuk keselamatan/ (salametan) atau syukuran.
  •  
  • http://www.ask.com/wiki/Sisingaan?lang=id

Kesenian Celempungan






Celempungan
 
Celempungan adalah grup musik yang merupakan bagian perkembangan dari celempung. Celempung sendiri merupakan alat musik yang terbuat dari hinis bambu yang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam ruas batang bambu. Saat ini celempung yang waditranya mempergunakan bambu masih dipertahankan di Desa Narimbang Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Namun dalam celempungan, waditra celempungnya sudah diganti oleh kayu yang dibentuk ruang segi delapan yang hinis bambunya diganti dengan plat dari besi. Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring. 

Cara memainkan alat musik ini ada dua cara, yaitu: 
  1. cara memukul; kedua alur sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara yang diinginkan pemain musik, 
  2. pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung (badan) celempung. Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka lebih besar, sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat Suara celempung bisa bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain musik. 

Untuk saat ini alat musik ini sudah jarang dimainkan, dalam ensambel celempungan perannya sudah diganti dengan kendang dan kulanter. Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Kata "ngan" menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada. Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan dengan cara memeukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan keinginan atau kepiawaian si penambuh waditra. 

Dalam celempungan, waditra kacapi dan biola adalah penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh pada salendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, nada tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai.


http://www.bandungtourism.com/tododet.php?q=Celempungan

Kesenian Reak

SEJARAH SENI REAK DI DESA CINUNUK , KABUPATEN BANDUNG
Kurang lebih sebelum zaman Kemerdekaan Republik Indonesia telah ada kesenian reak yang berkembang di daerah Ciguruwik Kabupaten Bandung, Reak berasal dari kata “ ngareah-reah “ atau  ngaramekeun” , memeriahkan, meramaikan . kesenian reak di ciguruwik ini berkembang tak lepas dari peranan sosok Abah Juarta, beliau adalah orang yang pertama membuat grup kesenian reak di daerah ciguruwik ini . Pada awalnya reak menggunakan waditra dogdog 5 ( tilingtit, tong, brung, bangplak dan bedug), angklung, kecrek dan tarompet penca , penari topeng, bangbarongan dan penari kukudaan.  Reak ini berfungsi sebagai  kesenian yang mengiringi petani ketika panen, yaitu ketika para petani memganggkut hasil panennya menuju leuit ( lumbung padi ), sepanjang jalan mereka di meriahkan dengan kesenian reak ini . Seiring berjalannya waktu, karena kesenian reak ini mendapat respon yang baik dari masyarakat, banyak yang meminta menjadi pengiring atau pengarak anak khitanan mengelilingi kampung menggunakan jampana atau kursi yang bisa di gotong . setelah anak khitanan diarak mengelilingi kampung lalu ketika sampai di rumah anak khitanan, Reak ini dimainkan sebagai hiburan masyarakat di sekitar .
Kesenian Reak ini mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi, nilai filosofis tersebut terdapat pada bunyi waditra dogdog 5 tersebut yaitu, tilingtit, tong, brung, bangplak dan bedug . tilingtit biasa ditabuh pertama, mengapa dinamakan tilingtit karena bunyi yang dihasilkan seperti suara  “ tilingtingtit tilingtingtit “ begitupun dengan tong suara yang di hasilkan berbunyi “ tong tong tong “  tong di bunyikan setelah tilingtit. Tidak jauh berbeda dengan brung, bangplak, Dan bedug, apabila di tabuh waditra brung maka bunyi yang keluar adalah suara  seperti “ brung brung brung “, ketika bangplak dimainkan pun suarnya “bang” apabila dilepas, dan apabila  di tengkep menghasilkan suara plak, ketika menabuh bedug pun yang keluar hasilnya suara “ dug dug dug” , maka pemeberian nama waditra tersebut berdasarkan suara yang di hasilkannya. Susunan pola tabuhnya yaitu pertama tilingtit. Lalu di ikuti oleh tong, brung, bangplak dan bedug . Dari susunan pola tabuh tersebut konon katanya, pola demikian mempunyai arti yakni tilingtit yang berarti gera indit gera indit , tong memiliki arti entong, suara dari waditra brung yang mengartikan embung, bangplak memiliki arti gera prak dan bedug memiliki artian dengan seruan atau perintah untuk shalat, Jadi apabila digabungkan memiliki arti “ gera indit gera indit, ulah emung ulah embung , prak gera gumamprak ka gusti Allah lamun waktuna geus shalat ” atau cepatlah berangkat jangan sampai tidak mau untuk melakukan sahalat jika telah masuk tanda waktunya untuk shalat .
Setelah Abah juarta Wafat, Grup kesenian reak ini dilanjutkan oleh anak dan cucunya, yang dulunya grup kesenian ini bernama “REAK JUARTA” sekarang diganti menjadi lingkung seni reak “JUARTA PUTRA”. Salah satu keturunannya yaitu Cucu Dari Abah juarta yang masih melestarikan keseninan reak ini adalah bapak Undang Suparman (63) yang beralamat di Kp. Ciguruwik, Ds Cinunuk, Kab Bandung.
(Sumber : Undang suparman “ Reak Juart Putra “ )
 
http://venolisme.blogspot.com/2013/07/sejarah-reak-di-desa-cinunuk.html

Kesenian Bangreng

Bangreng berasal dari kata Bang dan Reng. Masing-masing merupakan akronim dari kata terbang dan ronggeng. Terbang di sini adalah alat musik yang terbuat dari kayu seperti rebana sedangkan ronggeng adalah penari wanita. Dapat diambil kesimpulan bahwa seni Bangreng adalah kesenian yang mempergunakan terbang sebagai pengiringnya ditambah alat musik lainnya dengan ronggeng sebagai penarinya. Awalnya kesenian ini sering difungsikan sebagai sarana upacara ritual namun, sekarang kesenian ini juga dipertontonkan sebagai sarana hiburan. Kesenian Bangreng dibuka dengan melantunkan lagu-lagu buhun seperti Lagu sampeu, Kembang Gadung, Buah Kawung, dan Kembang Beureum. Lagu ini harus disajikan pertama kali karena lagu ini merupakan kesenangan para karuhun semasa hidup. Dengan dilantunkannya lagu ini, diharapkan pelaksanaan ruwatan akan berjalan lancar dan dapat diterima oleh roh leluhur. Dengan dilantukannya lagu buhun, diharapkan juga para leluhur yang dianggap menyaksikan upacara tersebut akan menikmati suguhan yang diberikan. Setelah lagu buhun selesai, barulah penonton boleh memilih lagu kesukaannya dan penonton bisa menari sepuas hati dengan ronggeng pilihannya namun, ia harus memberi upah kepada ronggeng tersebut sebagai bayarannya. Seni Bangreng memiliki beberapa fungsi seperti fungsi ritual, hiburan, ekonomis, pendidikan, bahkan sosial sehingga kesenian ini patut dilestarikan sebagai budaya Indonesia yang berasal dari Jawa Barat. Mari lestarikan budaya kita.
 
http://www.budayaindonesia.net/2013/08/seni-bangreng-dari-sumedang.html 

Kesenian Rengkong

Rengkong merupakan pikulan yang tebuat dari bambu. Pikulan ini kemudian diberi beban sebesar 25 kg padi yang diikat dengan tali ijuk. Jika dibawa, pikulan ini akan menimbulkan suara akibat gesekan antar batang pikulan dan tali ijuk. Bunyi yang dihasilkan menyerupai rengkong (sejenis angsa). Rengkong berfungsi sebagai ucapan rasa syukur kepada Dewi Sri atas panen yang berlimpah. 
        Untuk membuat rengkong berbunyi nyaring, cara pembuatannya adalah dengan memilih bambu gombong (awi gombong) yang tipis dengan panjang 2 atau 2,5 meter. Pastikan antara ujung yang satu dan yang lainnya tidak tertutup oleh ruas bambu. Lubangilah 30 cm dari ujung bambu sepanjang 38 cm (menyerupai kentongan). Selanjutnya siapkan tambang ijuk dengan panjang 2 sampai 2,5 meter. 
Untuk mengikat padi-padi yang akan digantungkan. Agar semakin kesat dan menghasilkan suara nyaring maka, gunakan minyak tanah. Siapkan juga dodog dan angkung buncis. Nantinya pikulan ini akan dimainkan oleh 14 orang dengan busana tradisional. 14 orang ini memiliki tugas masing-masing. Rengkong besar dibawa oleh 2 orang, rengkong kecil 3 orang, pemain dodog 4 orang (dodog tigrit, tongsong,brung-brung, dan gedeblak), dan 5 orang pemain angklung buncis. Biasanya pembawa rengkong yang berjumlah 5 orang akan berada di barisan depan diikuti oleh pemain angklung dan dodog. Namun, susunannya harus seperti itu. Para pemain boleh atau bebas bergerak

http://www.budayaindonesia.net/2013/07/rengkong-kesenian-masyarakat-cianjur.html

Kuda Renggong

Menurut sumber, Kuda Renggong merupakan kesenian pertunjukan rakyat yang berasal dari desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang. Kata Renggong dalam kesenian ini merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan (keterampilan) cara berjalan kuda yang dilatih untuk seakan-akan menari mengikuti irama musik, jadi jika mendengar musik baik dari tabuhan kendang dan lainnya Kuda Renggong ini akan jalan berjingkrak-jingkrak seolah sedang menari, menarik bukan ?

Kesenian Kuda Renggong
Salah Satu Peserta Lomba Kuda Renggong
Beberapa Waktu Lalu
Kesenian Kuda Renggong ini sendiri biasanya diadakan untuk syukuran anak yang telah dikhitan atau disunat, atau istilahnya dikariakeun. Anak tersebut akan diarak keliling kampung menyusuri jalan raya menaiki Kuda Renggong dengan diiringi musik dan rombongannya, dan kebanyakan dari mereka ikut menari mengikuti irama musik. Biasanya penduduk yang rumahnya kebetulan dilewati oleh rombongan Kuda Renggong ini akan berbondong-bondong keluar untuk menonton. Dalam sebuah rombongan arak-arakan Kuda Renggong sendiri bervariasi jumlah Kuda Renggongnya, mulai dari 2, 4, atau sampai 8 ekor bahkan lebih, tergantung dari si empunya hajat (syukuran).
 
 
 
http://www.wewengkonsumedang.com/2012/11/kuda-renggong.html

Kesenian Tarawangsa

 
 
Kata Tarawangsa sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari baja atau besi, jika dilihat dari bentuknya secara sekilas Tarawangsa ini mirip dengan rebab. Alat musik ini terbuat dari kayu yang terdiri atas dua bagian yaitu tangkai penampang dawai dan badan atau body yang berbentuk kotak seperti yang bisa dilihat pada foto atau gambar diatas dimana salah satu personilnya sedang memegang Tarawangsa, dawai tarawangsa terdiri atas dua senar, yang kiri dimainkan dengan tangan kiri dengan cara dipetik dengan jari telunjuk, sedangkan yang satunya dengan digesek dan penggeseknya dimainkan oleh lengan kanan, filosofinya katanya dua dawai tarawangsa ini adalah perlambang Sang Pencipta yang selalu menciptakan makhluk berpasang-pasangan, sedangkan Jentrengnya berdawai tujuh, bila seluruhnya digabung maka berjumlah sembilan senar maka sama dengan jumlah wali penyebar Islam di pulau Jawa.
Kabarnya sulit sekali melacak sejarah sejak kapan dan dimana alat musik Tarawangsa ini lahir di tanah Pasundan karena memang kurangnya litelatur yang menjelaskannya secara pasti, namun di Rancakalong terdadapat sebuah tradisi lisan yang hidup hingga sekarang dan diceritakan secara turun temurun mengenai kisah awal mula Kesenian Tarawangsa, yang menurut cerita tersebut kesenian Tarawangsa telah ada sejak masa kerajaan Mataram Kuno sekitar abad 8-9 masehi dan kesenian tersebut berkaitan erat dengan hubungan Sumedang dengan Mataram, tapi cerita tersebut saya kurang hafal, nanti mungkin akan saya ceritakan pada postingan selanjutnya.
 
http://www.wewengkonsumedang.com/2013/06/kesenian-tarawangsa.html